Yang Terpenting itu Hati

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan:
“Barangsiapa memperhatikan syari’at di dalam sumbernya, maka ia akan tahu tentang terkaitnya amalan badan dengan amalan hati. Amalan badan tidak ada manfaatnya tanpa ada amalan hati. Amalan hati lebih wajib bagi setiap hamba daripada amalan badan. Bukankah perbedaan orang mukmin dan orang munafik tergantung pada hatinya, oleh karenanya ibadah hati lebih agung daripada ibadah badan, bahkan lebih banyak, lebih kontinyu, dan lebih wajib di setiap waktu.” [Badaa-i’ul Fawaa-id hal. 514]
Kepala boleh sama hitam, pirang, puith atau berkerudung, tapi hati siapa yang tahu? Lisan boleh jadi berkata bijak tapi siapa yang tahu hati berkeinginan bejat? Bisa jadi beraktifitas dengan jam terbang tinggi karena ingin dikenal matang? Berorganisasi kesana-sini supaya dianggap berkontribusi nyata? Atau sengaja berdiam diri agar populer dengan gelar kehati-hatian bertindak? Tak ada yang tahu isi hati. Bahkan tiap-tiap orang pun tak memiliki otoritas terhadap hatinya sendiri. 
Tak ada jaminan bahwa keistiqomahan itu bisa dilakukan hingga akhir, tak ada garansi nikmat hidayah Allah yang telah diberikan akan terus tersimpan di dada. Apapun mungkin yang awalnya aktif mengaji hingga dipertengahan menjadi lupa diri hingga akhirnya tak ingat mati. Masih ada juga cela untuk berubah yang dahulunya mafia menjadi seorang ulama. Contoh nyata dari kalangan sahabat Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam  terkait peristiwa ini adalah Ubaidillah bin Jahsy, kader generasi awal yang menyempal dan Umar bin Khattab, preman jahiliyah yang menjadi pemimpin kejayaan Islam.
Adanya hijab antara diri dan hati inilah menyebabkan Rasullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  seringkali berdo'a :
Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad 3/257. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat) sesuai syarat Muslim)
Lantas masihkah kita meremehkan perkara hati dengan dalih banyaknya amal sholih akhirnya akan membentuk kebaikan hati? Padahal telah nyata diterima tidaknya sebuah amal dari kondisi hatinya :
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
[Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]
Memang bukan perkara suci tidaknya hati tapi tentang bagaimana mengikutsertakan Allah dalam tiap situasi. Bila hati yang peka dengan keberadaan Rabbnya, ia akan senantiasa sadar adanya CCTV para malaikat siap untuk mendokumentasikan dan mefloorkan di Yaumil Mizan nanti. Dengan demikian sudah selayaknya anak Adam as menjaga hati dengan terjaganya pandangan, menjaga hati dengan terjaganya pendengaran, menjaga hati dengan terjaganya lisan dan menjaga hati dengan terjaganya perbuatan tangan serta langkah kaki.
wallahu a'lam bi showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faghfirli Yaa Rabb

Al Izzatu Lillahi Wahdah,

Ujian Yang Terjadi Kerana Allah Cintakah..?