Ketika Syukur Berbuah Laku


Al-Islamu ya’lu wa la yu’la (Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi darinya). Ironisnya, De facto kita acapkali menyaksikan bahwa negeri-negeri yang mayoritas non-muslim lebih “Islam” dari pada kaum muslimin sendiri. Di Jepang dengan prosentase kaum muslim sekitar 0,0031% atau 400 ribu jiwa memiliki kebiasaan menarik ber-ruh Islam.  Sebelum makan mereka biasa mengucapkan “itadakimasu“, ungkapan sopan yang berarti “Saya terima makanan ini.” Hal ini merupakan pernyataan terima kasih kepada siapa pun yang telah terlibat dalam menyiapkan makanan tersebut. Setelah makan, mereka pun menyatakan terima kasih lagi dengan menyebutkan “gochisosama deshita“, yang secara harfiah berarti “Terima kasih atas hidangan mewah yang lezat dan berlimpah.”
Berbeda dengan negeri Sakura, bangsa kita sepertinya lebih gemar mengungkapkan dengan dua kata yang dapat dipakai tiap keadaan dan kesempatan, “terima kasih”. Sangat simple memang tapi masih asing sebagai budaya sendiri. Lebih mengagumkan lagi, ternyata ada kata yang lebih mulia dalam pengungkapan rasa syukur tersebut yaitu “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Sebuah pengakuan cinta dari sang hamba pada Penciptanya. Namun sayangnya ungkapan yang seyogianya menjadi “top of mind” ini pun masih jarang ditemui dalam karakter masyarakat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Lantas apa efek rasa syukur tersebut terhadap kondisi suatu negeri? Di sinilah otoritas Allah sebagai Dzat Yang Maha Menepati Janji membuktikan kekuasaannya:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”  (QS. 14:7)
Data yang dilansir oleh World Bank pada tahun 2010 menunjukkan bahwa Japan berhasil menduduki peringkat 13 dengan GNI Per-Kapita (pendapatan perkapita) sebesar US$ 42,150 sedang Indonesia tercinta masih berada jauh di bawah, US$ 2,580. Yuph, 16: 1. Anyway, Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
Memang bukan pada pengucapan semata tetapi mentransformasi ucapan menjadi tindakan, tindakan menjadi akhlaq, dan akhlaq menjadi budaya bangsa. Ucapan akan hambar tanpa keyakinan kuat di dalam hati, tindakan tidak akan berbuah akhlaq tanpa konsistensi dan budaya tidak berarti tanpa keterlibatan anak negeri.
Dalam hadits Abu Hurairah, berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam
لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak bersyukur Kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada Manusia.” (Shahîh Sunan Abi Dâwud no. 4811)
Maka sahabat, jadikan ketaqwaan dan syukur kepada Allah sebagai kekuatan kita dalam membangun negeri ini. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. (QS.34:15)
Wallahu a’lam bi showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faghfirli Yaa Rabb

Al Izzatu Lillahi Wahdah,

Ujian Yang Terjadi Kerana Allah Cintakah..?